Rabu, 09 Mei 2012

AKU HADIR SEBAGAI PEMECAH ATAU PEMERSATU DALAM GEREJA??

AKU HADIR SEBAGAI PEMECAH ATAU PEMERSATU DALAM GEREJA??

Renungan pagi hari Kamis, 10 Mei 2012

Sifat superior adalah perasaan di mana seseorang menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih super dari orang lain atau kelompok lain. Sifat yang demikian ini akan memandang orang lain kecil, rendah tidak berarti bahkan tidak bermutu (inferior). Orang yang superior tidak akan bisa menerima jika orang lain (yang dianggapnya inferior) dimasukkan dalam kelompoknya . Penggabungan semacam ini akan dirasakan sebagai pelecehan, penghinaan. Coba bayangkan jika seorang tukang becak yang berbaju kumal ditempatkan duduk semeja dengan presiden dalam jamuan resmi! Apa yang terjadi? Si tukang becak akan merasa tidak pantas, dan si presiden mungkin akan merasa dilecehkan. Karena yang pantas duduk semeja dengannya biasaya orang-orang penting dan setaraf dengannya. 

Mari kita simak, apa yang terjadi di tengah jemaat perdana yang diceritakan dalam Bacaan pertama hari ini (Kis 15:7-21). Paulus, dan Barnabas teman seperjalanannya, yang dikenal sebagai Rasul bangsa-bangsa telah menunjukkan hasil yang sangat memuaskan dalam tugas kerasulannya. Jerih payah mereka mengitari banyak kampung telah menghasilkan buah melimpah dengan banyaknya orang non Yahudi bertobat menjadi Kristen setelah mendengarkan kotbah dan pengajaran mereka. Tetapi hasil yang menggembirakan ini tidak serta-merta memberikan efek yang baik bagi persaudaraan jemaat mula-mula. Ada beberapa masalah yang timbul karena kehadiran kelompok non Yahudi. Salah satu persoalan yang paling besar adalah menyangkut sunat.

Sunat adalah satu syarat mutlak bagi orang Yahudi. Mereka dan kelompok Farisi yang bertobat berpegang teguh pada adat istiadat dan hukum Musa bahwa setiap orang yang ingin memperoleh keselamatan haruslah juga disunat. Kenyataannya, orang non Yahudi tidak bersunat dan tidak mengharuskan sunat. Di sinilah timbul sikap superioritas orang Yahudi memandang kelompok non Yahudi sebagai inferior, najis, penuh dosa, kelompok rendah dan kelas dua. Sikap superior ini jelas menjadi penghalang bagi penciptaan persaudaraan Kristiani di antara kedua kubu. Dengan sudut pandangnya, orang Yahudi telah menghalangi orang asing bergabung dengan mereka. Padahal dalam kekristenan, kita semua adalah saudara, baik Yahudi maupun Yunani, baik pria maupun wanita, sebagaimana Yesus menyebut kita sebagai sahabat, dan bukan hamba. Persoalan pelik ini ‘memaksa’ para rasul mengadakan sidang besar di Yerusalem untuk mencari jalan keluar. 

Petrus, yang bertindak sebagai pemimpin sidang, dengan lantang berbicara: “Saudara-saudara, Allah yang mengenal hati manusia, telah menyatakan kehendak-Nya untuk menerima mereka [non Yahudi yang tak bersunat], sebab Ia mengaruniakan Roh Kudus juga kepada mereka sama seperti kepada kita, dan Ia sama sekali tidak mengadakan perbedaan antara kita dengan mereka, sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman. Karena itu mengapa kamu mencobai Allah dengan meletakkan kuk pada bahu mereka, yang tidak dapat mereka pikul…? (ay 8-10). Kotbah Petrus ini membuat mereka semua diam seraya menyadari kesalahan dan kekeliruannya. Ternyata sikap superior itu bukan hanya memisahkan mereka dari sesama. Lebih jauh dari situ, mereka telah menghalangi Allah berkarya seturut kehendak-Nya. 

Dengan ini mau disampaikan kepada kita bahwa pertobatan seseorang menjadi pengikut Kristus bukan terutama dipandang sebagai usaha manusia, tetapi semata-mata karena Rahmat Allah. Allahlah yang menarik setiap orang bersatu dengan-Nya. Karenanya tidak ada alasan bagi kita meninggikan hati, menyombongkan diri dan merasa diri telah berjasa. Kita juga diingatkan bahwa di hadapan Tuhan, kita bukanlah apa-apa, tidak ada superioritas. Kita semua bersaudara satu dalam iman, entah Anda Batak, Jawa, China, Dayak, Flores, dll. Tingkat derajat kita sama di hadapan-Nya karena ditebus oleh Kristus yang Satu dan sama, dan disatukan pula lewat air yang sama (baptis). Kerap terjadi oleh karena sifat, cara, watak, dan tingkah laku kita, membuat orang yang hendak mengenal Kristus lebih dekat malah semakin menjauh. Perlu kita bertanya diri: apakah aku ambil bagian membantu orang lain semakin mengenal Kristus? Atau malah aku terlibat menjadi penghalang, penghambat mereka menjadi Kristen? Apakah aku pencipta blok, grup, kelompok yang rentan memecah-belah persatuan Gereja? Apakah kita masuk dalam kelompok kategorial Gereja demi membina kesatuan Umat Gereja atau malah semakin memisahkan satu sama lain? 

Deus Meus et Omnia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar