Selasa, 08 Mei 2012

PENAMPAKAN: HARUSKAH KITA PERCAYA??


Apakah Umat Katolik HARUS percaya pada "Penampakan-penampakan"? Bagaimana seharusnya umat Katolik menyikapi fenomena-fenomena ini? Silakan dibaca artikel berikut ini.. :)

PENAMPAKAN: HARUSKAH KITA PERCAYA??
oleh: P. William P. Saunders *

Gereja Katolik membedakan antara wahyu umum dan wahyu pribadi. Wahyu umum didefinisikan sebagai berikut: Tuhan, dalam kebajikan dan kebijaksanaan-Nya yang tak terhingga, memilih untuk menyatakan DiriNya kepada umat manusia. Sesuai dengan rencana keselamatan Allah, Yesus Kristus - sungguh Allah yang menjadi sungguh manusia, Sabda Allah yang berinkarnasi - dalam persatuan dengan Roh Kudus, secara sempurna dan sepenuhnya menyatakan Bapa kepada kita. St Paulus dalam surat kepada orang Ibrani (1:1-3) mengajarkan dengan tepat definisi ini, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan.”

Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi dari Konsili Vatikan II (No. 4) secara khusus memaklumkan, “Setelah berulang kali dan dengan berbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan para Nabi, `akhirnya pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera' (Ibr 1:1-2). Sebab Ia mengutus PuteraNya, yakni sabda kekal, yang menyinari semua orang, supaya tinggal di tengah umat manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh 1:1-18). Maka Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai `manusia kepada manusia', `menyampaikan sabda Allah' (Yoh 3:34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh 5:36; 17:4). Oleh karena itu Dia - barang siapa melihat Dia, melihat Bapa juga (1ih. Yoh 14:9) - dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat-Nya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya, dan meneguhkan dengan kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi hidup kekal. Adapun tata keselamatan Kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (lih.1Tim 6:14 dan Tit 2:13).”

Wahyu yang telah Tuhan berikan kepada semua orang sepanjang segala abad ini dipelihara dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci. Kitab Suci adalah Sabda Tuhan yang dicatat dalam tulisan oleh penulis manusia dengan inspirasi dari Roh Kudus; tak akan ada kitab atau ayat yang akan ditambahkan ataupun dikurangkan dari Kitab Suci. Tradisi Suci adalah warisan Sabda Allah, yang dipercayakan Yesus kepada para rasul; para rasul dan penerus mereka, dengan dibimbing dan diterangi Roh Kudus, yang disebut Kristus sebagai Roh Kebenaran, telah memelihara, menjelaskan dan mewartakannya dengan setia. Salah satu contoh Tradisi Suci adalah Kredo Nicea. Keduanya, Kitab Suci dan Tradisi Suci, membentuk satu warisan wahyu ilahi, “sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama” (Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, No. 9).

Dalam definisi-definisi di atas, suatu poin penting digarisbawahi, “Walaupun wahyu itu sudah selesai, namun isinya sama sekali belum digali seluruhnya; masih merupakan tugas kepercayaan umat Kristen, supaya dalam peredaran zaman lama-kelamaan dapat mengerti seluruh artinya (Katekismus Gereja Katolik, No. 66; bdk juga No. 74-83). Di sinilah terletak peran Magisterium sebagai pelindung, penafsir dan guru yang otentik dari wahyu ilahi, dengan dibimbing dan dihindarkan dari salah oleh Roh Kudus. Segenap umat beriman Katolik wajib menerima kebenaran-kebenaran yang dinyatakan ini dengan iman ilahi. Menyangkalnya berarti sesat; misalnya menyangkal misteri inkarna si Tuhan kita, kehadiran nyata Tuhan kita dalam Ekaristi Kudus, ataupun adanya neraka.

Dengan dasar pemahaman yang kokoh tentang wahyu umum ini, sekarang kita bertolak ke wahyu pribadi dan pertanyaan di atas. Selama berabad-abad, pribadi-pribadi tertentu dianugerahi wahyu pribadi oleh Tuhan, yaitu pesan yang hanya disampaikan kepada mereka. Sebagai contoh, para kudus berikut menerima pesan-pesan khusus dari Tuhan kita: St. Hildegarde (wafat 1179), St. Gertrude (wafat 1301), St. Birgitta dari Swedia (wafat 1373), St. Katarina dari Siena (wafat 1380), St. Vincentius Ferrer (wafat 1419), St. Theresia dari Avila (wafat 1582), St. Yohanes dari Salib (wafat 1591), dan St. Margareta Maria Alacoque (wafat 1690). Berbagai penampakan Santa Perawan Maria juga merupakan wahyu pribadi, di mana Bunda Maria berbicara atas nama Putranya; beberapa dari antaranya yang paling terkenal adalah di Guadalupe (1531), Rue du Bac (1830), La Salette (1846), Lourdes (1858), Pontmain (1871), dan Fatima (1917). 

Walau Gereja mengakui wahyu-wahyu pribadi ini dan membenarkan isi pesan-pesan yang disampaikan, namun wahyu-wahyu pribadi ini tidak menambah ataupun melengkapi warisan iman. Berdasarkan keadaan Gereja pada saat wahyu pribadi disampaikan, pesan-pesan tersebut hanya mengilhami orang untuk hidup lebih taat dan setia, serta mendorong orang untuk semakin mendekatkan diri pada Kristus.

Sebagai contoh, pada tahun 1983, dalam ziarahnya ke Fatima, Paus Yohanes Paulus II menyatakan, “Gereja telah senantiasa mengajarkan dan akan terus memaklumkan bahwa wahyu ilahi mencapai kepenuhannya dalam Yesus Kristus, yang adalah kepenuhan dari wahyu itu dan bahwa `sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya' (Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, No. 4). Gereja mengevaluasi dan menilai wahyu-wahyu pribadi menurut kriteria keselarasannya dengan Wahyu yang satu itu. Jika Gereja menerima pesan-pesan Fatima, di atas segalanya adalah karena pesan-pesan yang disampaikan mengandung suatu kebenaran dan suatu panggilan yang intinya adalah kebenaran dan panggilan dari Injil itu sendiri.” Pada pokoknya, Bapa Suci menekankan bahwa wahyu pribadi di Fatima tidak menambah, tidak bertentangan, ataupun mengurangi warisan wahyu yang terdapat dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci; walau demikian, sungguh wahyu pribadi ini menggerakkan umat beriman untuk memberikan perhatian dan mengamalkan pesan warisan wahyu itu. 

Sebagai contoh, penampakan Tuhan kita kepada St. Margareta Maria Alacoque di mana Yesus menunjukkan HatiNya yang Mahakudus dan menyampaikan Duabelas Janji kepadanya. Walau penampakan ini diselidiki dengan seksama dan dinilai dapat dipercaya, namun kita patut ingat bahwa devosi kepada Hati Yesus Yang Mahakudus berakar dari Kitab Suci sendiri, disajikan dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja, dan diajarkan banyak orang baik sebelum maupun sesudah St. Margareta Maria. Hal ini dengan terang dan jelas ditekankan dalam ensiklik Paus Pius XII “Haurietis aquas” (1956) yang sangat indah mengenai devosi yang pantas kepada Hati Yesus yang Mahakudus. Seorang beriman Katolik wajib memiliki penghormatan yang saleh kepada Hati Yesus yang Mahakudus, entah apakah ia secara pribadi menerima, meragukan ataupun menolak wahyu-wahyu pribadi yang disampaikan Tuhan kepada St. Margareta Maria. 

Beberapa hal penting patut diperhatikan menyangkut wahyu-wahyu pribadi. Pertama, wahyu-wahyu pribadi tidak menambah ataupun melengkapi warisan wahyu ilahi dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci. Wahyu pribadi tidak pernah boleh disejajarkan dengan Kitab Suci dan Tradisi Suci. Gereja senantiasa memperingatkan umat beriman terhadap antusiasme rohani yang meluap atas wahyu pribadi yang demikian hingga melalaikan Kitab Suci dan Tradisi Suci.

Kedua, Magisterium harus dengan cermat dan seksama memeriksa semua wahyu-wahyu pribadi. Karena wahyu pribadi ini dianugerahkan kepada pribadi-pribadi tertentu, maka ada kemungkinan terjadi kesalahan manusiawi, ilusi dan distorsi (= penyimpangan) dalam melaporkan atau mengingat. Sejujurnya, perlu dipertimbangkan juga kemungkinan tindakan setan, sebab setan bahkan mempergunakan apa-apa yang tampaknya baik untuk menarik orang dari Tuhan.

Ketiga, pengakuan yang diberikan Gereja terhadap suatu wahyu pribadi berarti bahwa wahyu pribadi tersebut tidak bertentangan dengan warisan wahyu dalam hal iman ataupun moral, bahwa isinya dapat disebarluaskan, dan bahwa umat beriman dapat mempercayainya dengan hati-hati dan bijaksana. Jika Gereja belum secara resmi mengakui suatu wahyu pribadi, berhati-hatilah. Jika Gereja telah memaklumkan bahwa suatu wahyu pribadi tidak benar dan bertentangan dengan iman, baiklah kita menjauhkan diri darinya.

Keempat, bahkan jika Gereja telah memberikan pengakuan resmi terhadap suatu wahyu pribadi, umat beriman tidak wajib mempercayai wahyu pribadi tersebut. Seorang beriman Katolik dipanggil untuk meyakini iman sesuai warisan iman dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci.

Dalam budaya spiritualitas “peradaban baru” di mana kita hidup, umat beriman Katolik patut memfokuskan diri pada bacaan-bacaan: pertama dan terutama, Kitab Suci dan Katekismus Gereja Katolik; dan kedua, tulisan-tulisan para kudus yang telah diakui. Apabila timbul suatu kegemparan akibat berita adanya penampakan-penampakan atau fenomena rohani lainnya, patut kita ingat hal ini, “Konsumen waspadalah!”

Dikutip dari Situs Yesaya..

Salam kasih dan doa, Deo Gratias

Tidak ada komentar:

Posting Komentar